Rentang kemampuan di kelas saya cukup besar. Sangat besar, bahkan. Mulai dari anak yang mampu memahami humor plesetan dalam dua bahasa, sampai yang membaca saja masih tertatih-tatih. Ada yang bisa menulis dengan huruf tegak bersambung sempurna sehingga membuat saya iri, ada juga yang menulis huruf c terbalik semua atau tidak bisa membedakan b dan d. Mulai dari yang tidak bisa kalau tidak teriak, sampai tidak bisa bersuara sama sekali.
Keinginan berkompetisi di kelas saya juga amat besar. Semua mau jadi yang ter; terdepan, tercepat, terbanyak dan seterusnya. Mungkin ada tiga ratus kali sehari saya harus mengingatkan mereka untuk tidak saling mendorong atau menginjak satu sama lain.
Anak-anak ini juga sangat outspoken. Mereka tidak sungkan bilang "Ini membosankan," kalau memang perlu. Saya tidak mengira kalau akhirnya menemukan bahwa mereka sangat murah hati dengan dukungan.
Dhiadri dan Dimas yang saya duga punya photographic memory kuat dengan tulus mengawali serangkaian tepuk tangan dan pujian untuk teman mereka yang mengumpulkan segenap keberanian untuk mencoba membaca tulisan di papan tulis.
"I know you can do it, dude!"
"That's great!"
Ya, kalian semua hebat.
Wednesday, August 31, 2005
Monday, August 29, 2005
Saturday, August 27, 2005
Sekali lagi, Bahasa Indonesia
Harap diperhatikan bahwa anak yang lahir di Indonesia atau lahir dari orang tua yang dua-duanya orang Indonesia tidak membawa-bawa gen bisa berbahasa Indonesia. Dengan kata lain TIDAK OTOMATIS BISA berbahasa Indonesia.
Hal sekecil ini seringkali dilupakan banyak orang tua. Salah satunya alasan ini juga yang membuat saya memutuskan berhenti mengajar di sebuah sekolah what so called international school yang memaksa para balita berbicara bahasa Inggris dan Mandarin sambil mengharamkan penggunaan bahasa Indonesia.
Orangtua-orangtua kota besar sekarang ini menganggap penting membekali anak-anaknya dengan bahasa kedua sejak dini. Sangat dini. Mereka bicara bahasa bayi versi bahasa inggris ke bayi-bayinya. Mereka perkenalkan Twinkle-Twinkle Little Star dulu dan melupakan Bintang Kecil apalagi Bintang Kejora. Mereka masukkan bayi-bayi mereka ke dalam sekolah-sekolah berbahasa apa saja asal tidak pakai bahasa Indonesia. Mereka mengubah saluran-saluran TV Indonesia yang kebanyakan berisi acara non-sense dengan PlayHouse Disney, Nickleodeon, Disney Channel, Animal Planet dari perusahaan TV kabel. Beberapa yang cukup cerdas sibuk membelikan ratusan buku dan ensiklopedi untuk anak-anak mereka -- semua berbahasa Inggris. Banyak juga yang dengan sengaja hanya mau bercakap dalam bahasa Inggris dengan anak-anak mereka di rumah. Kalau bahasa Indonesia sama suster atau sama mbak saja. Si suster dan si mbak sering juga mengeluh kalau anak asuhnya menolak berbahasa Indonesia.
Nah, saya punya banyak murid yang mengalami situasi seperti itu. Tadinya keren memang, melihat mereka hilir mudik mengoceh dalam Bahasa Inggris dan tampak nyaman menggunakannya. Orangtua murid yang keluar masuk silih berganti sering menatap terkagum-kagum. Huebat sekali lah kelihatannya!
Sampai hari ini saya kaget bukan kepalang melihat separuh dari kelas saya kebingungan mengerjakan lembar pemahaman bacaan dalam bahasa Indonesia. Lemas rasanya badan saya. Memang bahasa tidak diperoleh serta merta. Mereka butuh stimulasi Bahasa Indonesia yang cukup dari berbagai arah, dari orang dewasa, televisi, dan terutama buku.
Hal sekecil ini seringkali dilupakan banyak orang tua. Salah satunya alasan ini juga yang membuat saya memutuskan berhenti mengajar di sebuah sekolah what so called international school yang memaksa para balita berbicara bahasa Inggris dan Mandarin sambil mengharamkan penggunaan bahasa Indonesia.
Orangtua-orangtua kota besar sekarang ini menganggap penting membekali anak-anaknya dengan bahasa kedua sejak dini. Sangat dini. Mereka bicara bahasa bayi versi bahasa inggris ke bayi-bayinya. Mereka perkenalkan Twinkle-Twinkle Little Star dulu dan melupakan Bintang Kecil apalagi Bintang Kejora. Mereka masukkan bayi-bayi mereka ke dalam sekolah-sekolah berbahasa apa saja asal tidak pakai bahasa Indonesia. Mereka mengubah saluran-saluran TV Indonesia yang kebanyakan berisi acara non-sense dengan PlayHouse Disney, Nickleodeon, Disney Channel, Animal Planet dari perusahaan TV kabel. Beberapa yang cukup cerdas sibuk membelikan ratusan buku dan ensiklopedi untuk anak-anak mereka -- semua berbahasa Inggris. Banyak juga yang dengan sengaja hanya mau bercakap dalam bahasa Inggris dengan anak-anak mereka di rumah. Kalau bahasa Indonesia sama suster atau sama mbak saja. Si suster dan si mbak sering juga mengeluh kalau anak asuhnya menolak berbahasa Indonesia.
Nah, saya punya banyak murid yang mengalami situasi seperti itu. Tadinya keren memang, melihat mereka hilir mudik mengoceh dalam Bahasa Inggris dan tampak nyaman menggunakannya. Orangtua murid yang keluar masuk silih berganti sering menatap terkagum-kagum. Huebat sekali lah kelihatannya!
Sampai hari ini saya kaget bukan kepalang melihat separuh dari kelas saya kebingungan mengerjakan lembar pemahaman bacaan dalam bahasa Indonesia. Lemas rasanya badan saya. Memang bahasa tidak diperoleh serta merta. Mereka butuh stimulasi Bahasa Indonesia yang cukup dari berbagai arah, dari orang dewasa, televisi, dan terutama buku.
Dugaan saya, stimulasi seperti itu memang tidak cukup di dalam hidup kita sehari-hari, sekarang. Mungkinkah bagi anak-anak saya ini, Berbahasa Indonesia sudah tidak relevan lagi? Mengapa Ibu Tia memaksa saya membaca dan bicara dalam bahasa Jus Badudu sedangkan tetangga saya bicara seenaknya? Ketika kami sibuk membicarakan hewan yang hampir punah, kami tidak punya cukup buku berbahasa Indonesia yang memberi informasi tentang harimau sumatera, badak bercula satu, elang jawa, dan sebagainya. Anak-anak tahu tentang burung dodo karena itu ada di banyak ensiklopedi. Semua berbahasa Inggris.
Baiklah, tidak ada lagi jam "let's speak english". Ganti saja dengan jam "mari berbahasa indonesia."
Friday, August 26, 2005
Teman Khayalan
Kelas Mini dan teman-temannya masih mengirim cerita untuk saya. Dan cerita yang satu ini membuat saya tertawa sendiri di mobil.
Mini dan teman-temannya punya kawan baru. Kawan baru ini cukup menarik. Anak laki-laki dengan perawakan kecil, pendiam, disebut ayahnya pemalu dan sulit bergaul, dipindahkan dari sekolah lama karena jadi korban gencet menggencet alias bullying. Tentang berteman, sebenarnya tidak ada masalah sejak hari pertama. Hanya dalam dua jam Mini dan teman-teman sudah menggiring teman barunya berlarian keliling sekolah.
Belakangan ini Mini memergoki si kawan baru suka bicara sendiri. Mini bertanya, "Kok kamu bicara sendiri sih."
"Oh, aku sedang bicara dengan teman khayalanku."
"Teman khayalan?"
"Iya. Teman khayalan itu teman yang tidak kelihatan. Tapi dia ada di sini. Aku sedang bicara dengan teman khayalanku itu."
Mini merengut dan bergumam, "Aneh sekali."
Dua hari kemudian, Mini dan teman-temannya menemukan cara baru untuk beradaptasi dengan si teman baru. Semua memutuskan untuk punya teman khayalan. Mini bertanya pada guru kelasnya, " Bu, teman khayalan ibu siapa? Teman khayalanku namanya..."
Mini dan teman-temannya punya kawan baru. Kawan baru ini cukup menarik. Anak laki-laki dengan perawakan kecil, pendiam, disebut ayahnya pemalu dan sulit bergaul, dipindahkan dari sekolah lama karena jadi korban gencet menggencet alias bullying. Tentang berteman, sebenarnya tidak ada masalah sejak hari pertama. Hanya dalam dua jam Mini dan teman-teman sudah menggiring teman barunya berlarian keliling sekolah.
Belakangan ini Mini memergoki si kawan baru suka bicara sendiri. Mini bertanya, "Kok kamu bicara sendiri sih."
"Oh, aku sedang bicara dengan teman khayalanku."
"Teman khayalan?"
"Iya. Teman khayalan itu teman yang tidak kelihatan. Tapi dia ada di sini. Aku sedang bicara dengan teman khayalanku itu."
Mini merengut dan bergumam, "Aneh sekali."
Dua hari kemudian, Mini dan teman-temannya menemukan cara baru untuk beradaptasi dengan si teman baru. Semua memutuskan untuk punya teman khayalan. Mini bertanya pada guru kelasnya, " Bu, teman khayalan ibu siapa? Teman khayalanku namanya..."
Thursday, August 25, 2005
Buku Bagus
Saya punya pe-er untuk menceritakan dongeng Lutung Kasarung pada kelas saya. Tadi pagi saya pinjam bukunya di kelas tetangga. Saya mulai membaca dan menemukan bahwa dongeng itu ditulis sangat indah oleh Sanggar Tumpal.
Saya sangat pelit memuji buku anak-anak berbahasa Indonesia. Jadi sekali ini saya sungguh serius. Sanggar Tumpal sukses mendongeng dengan indah. Kata-kata yang dipakai bagus, dan paragrafnya berima. Saya terpesona sendiri tadi pagi.
Niat untuk mendongengkan cerita saya urungkan. Saya memutuskan untuk membacakan cerita itu. Saya tidak mau anak-anak kehilangan satu kalimat pun dari buku itu. Dengan resiko sebagian anak di kelas saya merengut dan kesal karena setiap satu paragraf mereka harus bertanya tentang kata-kata yang ajaib di telinga mereka. Biar saja.
Saya sangat pelit memuji buku anak-anak berbahasa Indonesia. Jadi sekali ini saya sungguh serius. Sanggar Tumpal sukses mendongeng dengan indah. Kata-kata yang dipakai bagus, dan paragrafnya berima. Saya terpesona sendiri tadi pagi.
Niat untuk mendongengkan cerita saya urungkan. Saya memutuskan untuk membacakan cerita itu. Saya tidak mau anak-anak kehilangan satu kalimat pun dari buku itu. Dengan resiko sebagian anak di kelas saya merengut dan kesal karena setiap satu paragraf mereka harus bertanya tentang kata-kata yang ajaib di telinga mereka. Biar saja.
Wednesday, August 24, 2005
Ada Kejadian Apa Hari Ini?
Sepulang bekerja tadi saya mampir ke kantor teman-teman. Seperti biasanya mereka selalu menyapa saya dengan " Bu Guru!!!" Kadang-kadang, seperti hari ini, mereka bertanya, ada kejadian apa di sekolah hari ini?
Hari ini saya butuh waktu untuk mencari-cari kejadian hari ini. Semua berjalan normal seperti biasa. Maksud saya, tentu ada yang jatuh, menangis, protes, pertanyaan ajaib, dan sebagainya. Sampai saya menemukan satu cerita yang menurut saya menarik
Bagi kami di ruang makan, komentar Carlo sungguh luar biasa! Kami yang tahu persis bahwa anak-anak TK hanya diharapkan bisa membilang sampai sekian puluh dan menguasai operasi hitung jumlah dan kurang untuk bilangan 1 - 10 tentu kagum dengan kemampuan Carlo mengenali selisih angka puluhan!
Tapi teman-teman saya tadi terdiam mendengar cerita saya.
"Bukannya normal, ya? " Alexander The Great bertanya. Tentu tidak, silly, tidak sama dengan kamu yang IQ-nya lebih dari 140.
Teman yang lain lagi bilang begini, "Oh, dia pasti tidak pernah main gundu!" Lalu teman saya ini bercerita bagaimana bermain gundu memaksanya berhitung tambah kurang dengan gundu harta bendanya.
Giliran saya yang tertawa. Lebih ke menertawakan diri sendiri. Bekerja bersama anak-anak ini 1) setiap hari membuat saya jadi pelupa. Saya sering lupa bahwa anak-anak bisa melalui proses belajar alamiah lewat bermain bersama teman. Saya begitu sering berkutat dengan rencana belajar dan standar kompetensi dan menggunakannya untuk mengagumi, mencela, dan mengkhawatirkan apa yang ditampilkan anak-anak.
Silly me, isnt' it?
1) Sekali lagi saya harus bilang bahwa saya bekerja bersama sekelompok anak yang sangat spesifik. Berasal dari kelas menengah, kelahiran ibu-bapak intelek tapi cenderung protektif, tumbuh di kota besar, tidak punya ruang bermain, dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, sekolah, atau tempat les daripada berkeliaran main sepeda, benteng atau kelereng dengan teman. Apapun yang saya lihat dan dengar dari anak-anak ini tidak bisa semena-mena digeneralisasikan pada semua anak di dunia yang pernah anda lihat.
Hari ini saya butuh waktu untuk mencari-cari kejadian hari ini. Semua berjalan normal seperti biasa. Maksud saya, tentu ada yang jatuh, menangis, protes, pertanyaan ajaib, dan sebagainya. Sampai saya menemukan satu cerita yang menurut saya menarik
Carlo dan teman-teman TK B-nya sedang sibuk menimbang
dan membandingkan berat badan bersama guru matematika mereka. Salah satu teman
Carlo naik ke atas timbangan, dan jarum menunjukkan angka 36. "Wah, tahun lalu
beratmu 32 kilogram, Nak!" si ibu guru berkomentar. Carlo tidak mau kalah,
"Berarti satu tahun ini beratmu naik 4 kilo ya!"
Bagi kami di ruang makan, komentar Carlo sungguh luar biasa! Kami yang tahu persis bahwa anak-anak TK hanya diharapkan bisa membilang sampai sekian puluh dan menguasai operasi hitung jumlah dan kurang untuk bilangan 1 - 10 tentu kagum dengan kemampuan Carlo mengenali selisih angka puluhan!
Tapi teman-teman saya tadi terdiam mendengar cerita saya.
"Bukannya normal, ya? " Alexander The Great bertanya. Tentu tidak, silly, tidak sama dengan kamu yang IQ-nya lebih dari 140.
Teman yang lain lagi bilang begini, "Oh, dia pasti tidak pernah main gundu!" Lalu teman saya ini bercerita bagaimana bermain gundu memaksanya berhitung tambah kurang dengan gundu harta bendanya.
Giliran saya yang tertawa. Lebih ke menertawakan diri sendiri. Bekerja bersama anak-anak ini 1) setiap hari membuat saya jadi pelupa. Saya sering lupa bahwa anak-anak bisa melalui proses belajar alamiah lewat bermain bersama teman. Saya begitu sering berkutat dengan rencana belajar dan standar kompetensi dan menggunakannya untuk mengagumi, mencela, dan mengkhawatirkan apa yang ditampilkan anak-anak.
Silly me, isnt' it?
1) Sekali lagi saya harus bilang bahwa saya bekerja bersama sekelompok anak yang sangat spesifik. Berasal dari kelas menengah, kelahiran ibu-bapak intelek tapi cenderung protektif, tumbuh di kota besar, tidak punya ruang bermain, dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, sekolah, atau tempat les daripada berkeliaran main sepeda, benteng atau kelereng dengan teman. Apapun yang saya lihat dan dengar dari anak-anak ini tidak bisa semena-mena digeneralisasikan pada semua anak di dunia yang pernah anda lihat.
Saturday, August 20, 2005
Wawancara Khayalan
Seminggu ditinggal partner di kelas ini sendirian, justru membuat saya jadi jatuh cinta sama mereka. Meskipun desibel kebisingan mereka masih di atas rata-rata (buat saya), hari ini anak-anak cukup kooperatif.
Saya mengajak anak-anak membuat wawancara khayalan. Mereka bekerja berpasangan, dan bergantian menjadi pewawancara dan tokoh yang diwawancara. Intinya mereka harus saling bertanya dan menjawab dengan relevan. Pfuhh.. ini hal besar untuk anak umur 7 tahun yang sangat akrab dengan bahasa Inggris dan lebih sering bertemu bahasa Indonesia versi asal-asalan.
Menyusun kalimat tanya yang baik adalah tantangan besar. Apalagi menulis dengan tanda baca yang benar. Ada saja yang terlewat.
Anyway, anak-anak cukup antusias.
"Aku mau jadi soccer player!"
"Aku jadi snow white!"
"Aku arsitek."
"Aku mau jadi princess."
Ya biarlah. Mereka memang boleh berkhayal jadi apa saja. Setelah selesai menulis daftar pertanyaan itu, setiap pasang bergantian bermain peran di depan teman-temannya.
Perancang Pesawat Terbang harus mewawancara arsitek. Ia cukup cerdas untuk benar-benar menulis pertanyaan-pertanyaan yang relevan seperti : Mengapa anda memilih untuk berprofesi arsitek? Bagaimana caranya membuat rumah? Seperti apa rumah anda?
Si Arsitek menghampiri saya dan bertanya, "Profesi itu apa sih, Bu?"
Seorang Pemain Golf sedang mewawancara Snow White. Ia benar-benar memikirkan setting cerita Snow White dan mengajukan pertanyaan "Benda apa yang paling anda takuti?" Snow White ternyata lupa bahwa dia sedang jadi Snow White. Dengan mata terbelalak dia menjawab, " Foto hantu..." Pemain Golf jadi agak kecewa, karena ia mengharap jawaban seperti apel atau nenek sihir.
Kejadian paling kocak adalah ketika Cinderella dan Putri Aurora saling mewawancara. Kebetulan keduanya adalah dua anak paling pendiam di kelas. Saking pendiamnya, mereka bicara tanpa suara. Sungguh-sungguh perlu keahlian membaca bibir untuk mengerti maksud keduanya. Jadi, bisa ditebak bukan? Percakapan itu berjalan tanpa suara. Bahkan kepala keduanya makin lama makin dekat. Anak-anak yang sedang pura-pura merekam wawancara menggunakan kamera langsung protes.
"Ini seperti film Charlie Chaplin."
"Bu, tombol volumenya sudah aku besarkan tapi tetap tidak ada suaranya."
Si Presiden tiba-tiba berdiri, mengitari Cinderella dan Putri Aurora, lalu meletakkan kepala diantara keduanya. "Eh, kalau dari sini kedengaran!"
Semua anak langsung mencondongkan kepala mendekat. Saya sudah tertawa terbungkuk-bungkuk di belakang.
Satu lagi yang harus saya ceritakan. Saat mereka bermain peran menjadi tokoh-tokoh dewasa, pertanyaan mereka tetap pertanyaan anak-anak. Banyak daftar pertanyaan itu yang memuat pertanyaan seperti ini:
" Siapa teman anda di kantor?"
" Apa makanan kesukaan anda?" yang dijawab dengan "spaghetti" oleh semua tokoh dan disambut anggukan setuju oleh semua pewawancara.
Ya. Itulah dua harta benda mereka : teman dan spaghetti.
Saya mengajak anak-anak membuat wawancara khayalan. Mereka bekerja berpasangan, dan bergantian menjadi pewawancara dan tokoh yang diwawancara. Intinya mereka harus saling bertanya dan menjawab dengan relevan. Pfuhh.. ini hal besar untuk anak umur 7 tahun yang sangat akrab dengan bahasa Inggris dan lebih sering bertemu bahasa Indonesia versi asal-asalan.
Menyusun kalimat tanya yang baik adalah tantangan besar. Apalagi menulis dengan tanda baca yang benar. Ada saja yang terlewat.
Anyway, anak-anak cukup antusias.
"Aku mau jadi soccer player!"
"Aku jadi snow white!"
"Aku arsitek."
"Aku mau jadi princess."
Ya biarlah. Mereka memang boleh berkhayal jadi apa saja. Setelah selesai menulis daftar pertanyaan itu, setiap pasang bergantian bermain peran di depan teman-temannya.
Perancang Pesawat Terbang harus mewawancara arsitek. Ia cukup cerdas untuk benar-benar menulis pertanyaan-pertanyaan yang relevan seperti : Mengapa anda memilih untuk berprofesi arsitek? Bagaimana caranya membuat rumah? Seperti apa rumah anda?
Si Arsitek menghampiri saya dan bertanya, "Profesi itu apa sih, Bu?"
Seorang Pemain Golf sedang mewawancara Snow White. Ia benar-benar memikirkan setting cerita Snow White dan mengajukan pertanyaan "Benda apa yang paling anda takuti?" Snow White ternyata lupa bahwa dia sedang jadi Snow White. Dengan mata terbelalak dia menjawab, " Foto hantu..." Pemain Golf jadi agak kecewa, karena ia mengharap jawaban seperti apel atau nenek sihir.
Kejadian paling kocak adalah ketika Cinderella dan Putri Aurora saling mewawancara. Kebetulan keduanya adalah dua anak paling pendiam di kelas. Saking pendiamnya, mereka bicara tanpa suara. Sungguh-sungguh perlu keahlian membaca bibir untuk mengerti maksud keduanya. Jadi, bisa ditebak bukan? Percakapan itu berjalan tanpa suara. Bahkan kepala keduanya makin lama makin dekat. Anak-anak yang sedang pura-pura merekam wawancara menggunakan kamera langsung protes.
"Ini seperti film Charlie Chaplin."
"Bu, tombol volumenya sudah aku besarkan tapi tetap tidak ada suaranya."
Si Presiden tiba-tiba berdiri, mengitari Cinderella dan Putri Aurora, lalu meletakkan kepala diantara keduanya. "Eh, kalau dari sini kedengaran!"
Semua anak langsung mencondongkan kepala mendekat. Saya sudah tertawa terbungkuk-bungkuk di belakang.
Satu lagi yang harus saya ceritakan. Saat mereka bermain peran menjadi tokoh-tokoh dewasa, pertanyaan mereka tetap pertanyaan anak-anak. Banyak daftar pertanyaan itu yang memuat pertanyaan seperti ini:
" Siapa teman anda di kantor?"
" Apa makanan kesukaan anda?" yang dijawab dengan "spaghetti" oleh semua tokoh dan disambut anggukan setuju oleh semua pewawancara.
Ya. Itulah dua harta benda mereka : teman dan spaghetti.
Thursday, August 18, 2005
Hari Terbalik
Dengan banyak jenis spesies murid di dalam kelas, kadang-kadang lebih mudah mengingat dan menilai mereka sesuai dengan pola tingkah laku mereka. I am not a perfect teacher, jadi mungkin sekali kalau saya lebih cepat jengkel pada anak-anak yang memang sudah punya "cap" biang kerok. Hehe. Sekali-kali. Hari paling membahagiakan buat saya tetap saja hari di mana mereka berubah jadi malaikat-malaikat kecil, meskipun cuma sehari.
Nah, hari ini adalah hari terbalik. Zaky -- seperti biasa -- tampil tidak meyakinkan waktu matematika. Saya melongok pekerjaannya, dan -- entah pikirannya sedang di mana -- bisa-bisanya ia menjumlah bilangan puluhan terbolak balik. Saya bicara padanya, saya jelaskan cara sederhana untuk mengerjakannya dan saya biarkan ia meneruskan pekerjaan itu ... dan HEBATNYA, dia menuntaskan empat lembar kerja tanpa kesalahan. Bukan hanya saya yang senang, Zaky pun senang bukan kepalang. Ia bangga, dan ia punya banyak waktu untuk bermain.
Tampaknya hari ini hari keberuntungan buat Zaky. Biasanya dia yang tidak bawa tugas, ketinggalan PR, diomeli teman karena tidak perhatian. Hari ini, Zaky justru berkesempatan membantu teman paling cantik-pintar-mandiri di kelas karena si putri ini kebetulan lupa bawa gambar-gambar yang jadi tugasnya. Zaky begitu semangatnya menamai anggota tubuh segala macam binatang sampai sampai hari ini hanya dia seorang yang paling sukses mengerjakan tugas itu.
Zaky menikmati sekali ucapan terimakasih temannya. Ia menjawab, "Sama-sama!" dengan nada hampir melompat-lompat.
I think this is one of his best day. One of mine too, karena kekacauan di kelas berkurang setengahnya.
Nah, hari ini adalah hari terbalik. Zaky -- seperti biasa -- tampil tidak meyakinkan waktu matematika. Saya melongok pekerjaannya, dan -- entah pikirannya sedang di mana -- bisa-bisanya ia menjumlah bilangan puluhan terbolak balik. Saya bicara padanya, saya jelaskan cara sederhana untuk mengerjakannya dan saya biarkan ia meneruskan pekerjaan itu ... dan HEBATNYA, dia menuntaskan empat lembar kerja tanpa kesalahan. Bukan hanya saya yang senang, Zaky pun senang bukan kepalang. Ia bangga, dan ia punya banyak waktu untuk bermain.
Tampaknya hari ini hari keberuntungan buat Zaky. Biasanya dia yang tidak bawa tugas, ketinggalan PR, diomeli teman karena tidak perhatian. Hari ini, Zaky justru berkesempatan membantu teman paling cantik-pintar-mandiri di kelas karena si putri ini kebetulan lupa bawa gambar-gambar yang jadi tugasnya. Zaky begitu semangatnya menamai anggota tubuh segala macam binatang sampai sampai hari ini hanya dia seorang yang paling sukses mengerjakan tugas itu.
Zaky menikmati sekali ucapan terimakasih temannya. Ia menjawab, "Sama-sama!" dengan nada hampir melompat-lompat.
I think this is one of his best day. One of mine too, karena kekacauan di kelas berkurang setengahnya.
Wednesday, August 17, 2005
Upacara Bendera
Saya datang ke sekolah hari ini dengan t shirt merah dan cardigan putih. Satu per satu teman-teman, dan anak-anak datang dengan pakaian bernuansa merah putih. 'Tujuhbelasan' di sekolah saya memang jatuh pada hari ini. Besok, kan, libur...
Pukul delapan kurang sedikit, halaman sekolah sudah penuh dengan anak-anak. Semua merah dan putih. Anak-anak kelas 3 -- sejauh ini kelas paling senior -- sudah siap dengan pakaian putih-putih dan scarf merah. Selama dua minggu mereka sudah berlatih menjadi petugas upacara. Pagi ini wajah-wajah yang akrab di kelas saya tahun lalu terlihat excited, cemas, dan bangga sekaligus.
It takes five minutes to put the whole schools into lines. Kelas saya dengan manisnya berbaris rapi dan tenang. Itu saja sudah memulai rangkaian keharuan saya pagi ini.
Saya terharu melihat anak-anak kelas 3 yang berusaha keras menjadi petugas upacara, mengorbankan banyak waktu bermain mereka untuk berlatih. They were so brave this morning. Saya lebih terharu lagi melihat empat kelas yang mengikuti upacara dengan usaha terbaik mereka. Saya tidak mengira upacara bendera bersama anak-anak seusia mereka justru terasa khidmat dan berarti.
Tanpa orkestra apapun, Indonesia Raya pagi ini terdengar begitu lantang dan gagah. Semua memperhatikan bendera naik perlahan dan terus menyanyi dengan keras. Tidak peduli kalau TK A hanya bisa menyanyikan ujung-ujungnya saja.
Saya berdiri di belakang. Saya ikut memberi hormat dan saya ikut menyanyi keras-keras. Saya tahu suara saya bergetar.
Tentu saja haru biru itu tidak tinggal sepanjang hari. Sepanjang siang ini kami sibuk dan seru sendiri dengan berbagai perlombaan seperti makan kerupuk, lari kelereng, balap sarung, tarik tambang dan sebagainya. Anak-anak sampai teler karena tidak sempat makan siang. Sebetulnya kami-kami yang mulai tua ini yang kecapekan. Anak-anak tetap saja gesit lari kian ke mari. Mereka super senang.
Tapi, ketika pulang hari ini, saya tidak kehilangan harapan. Itu perasaan yang enak sekali.
Pukul delapan kurang sedikit, halaman sekolah sudah penuh dengan anak-anak. Semua merah dan putih. Anak-anak kelas 3 -- sejauh ini kelas paling senior -- sudah siap dengan pakaian putih-putih dan scarf merah. Selama dua minggu mereka sudah berlatih menjadi petugas upacara. Pagi ini wajah-wajah yang akrab di kelas saya tahun lalu terlihat excited, cemas, dan bangga sekaligus.
It takes five minutes to put the whole schools into lines. Kelas saya dengan manisnya berbaris rapi dan tenang. Itu saja sudah memulai rangkaian keharuan saya pagi ini.
Saya terharu melihat anak-anak kelas 3 yang berusaha keras menjadi petugas upacara, mengorbankan banyak waktu bermain mereka untuk berlatih. They were so brave this morning. Saya lebih terharu lagi melihat empat kelas yang mengikuti upacara dengan usaha terbaik mereka. Saya tidak mengira upacara bendera bersama anak-anak seusia mereka justru terasa khidmat dan berarti.
Tanpa orkestra apapun, Indonesia Raya pagi ini terdengar begitu lantang dan gagah. Semua memperhatikan bendera naik perlahan dan terus menyanyi dengan keras. Tidak peduli kalau TK A hanya bisa menyanyikan ujung-ujungnya saja.
Saya berdiri di belakang. Saya ikut memberi hormat dan saya ikut menyanyi keras-keras. Saya tahu suara saya bergetar.
Tentu saja haru biru itu tidak tinggal sepanjang hari. Sepanjang siang ini kami sibuk dan seru sendiri dengan berbagai perlombaan seperti makan kerupuk, lari kelereng, balap sarung, tarik tambang dan sebagainya. Anak-anak sampai teler karena tidak sempat makan siang. Sebetulnya kami-kami yang mulai tua ini yang kecapekan. Anak-anak tetap saja gesit lari kian ke mari. Mereka super senang.
Tapi, ketika pulang hari ini, saya tidak kehilangan harapan. Itu perasaan yang enak sekali.
Saturday, August 13, 2005
Harry Potter
Anak-anak menemukan tambang pembatas areal gym yang sedang dibangun sangat menarik untuk dipakai berayun-ayun. Ketika melihat, saya tidak tega melarang. Saya ingatkan saja mereka agar hati-hati. Baru sebentar saya melangkah ke kelas untuk meletakkan gelas, Adinda sudah berteriak-teriak... " Ibuuuu.... Riri jatuh terpelanting. Dia menangis!!"
Saya lari ke luar. Riri yang cantik seperti boneka sudah bersimbah air mata. Di dahinya ada benjolan lumayan besar dan goresan luka tapi tidak berdarah. Setelah menitipkan kelas pada Bu Novi, saya lari mencari baskom dan air panas.Di suatu liburan saya juga pernah benjol sebesar telur ayam begitu. Saya kompres dengan air panas dan benjol saya tidak jadi biru. Salep anti memar juga menolong sekali. Ada juga orang yang bilang, kompres air dingin lebih baik.
Sebenarnya keduanya tidak masalah.
Saya memakai satu kata kunci: waktu. Kalau bisa segera mendapatkan kompres es batu, tentu lebih baik. Pendarahannya bisa langsung dihentikan. Tapi kalau selang waktunya terlalu lama hingga sudah terjadi pendarahan di dalam, dan memarnya mulai membesar, kompres air panas justru membantu. Biar tidak jadi beku dan membiru.
Saya membiarkan Riri menyendiri selama 30 menit karena ia sangat kesal akibat jatuh. Berulang kali saya mengejar-ngejar dia mengoleskan salep. Hasilnya, memuaskan! Pagi ini Riri muncul tanpa benjol sedikitpun. Tinggal luka gores menghias dahinya. Beberapa teman laki-laki Riri di kelas (fyi: mereka sangat kagum pada kecantikan Riri) memperhatikan dan berkomentar, " Riri, kamu seperti Harry Potter deh. With that scar on your face..."
Riri cemberut.
Sepanjang hari ini dia tidak ikut-ikutan bermain ayunan tali.
Saya lari ke luar. Riri yang cantik seperti boneka sudah bersimbah air mata. Di dahinya ada benjolan lumayan besar dan goresan luka tapi tidak berdarah. Setelah menitipkan kelas pada Bu Novi, saya lari mencari baskom dan air panas.Di suatu liburan saya juga pernah benjol sebesar telur ayam begitu. Saya kompres dengan air panas dan benjol saya tidak jadi biru. Salep anti memar juga menolong sekali. Ada juga orang yang bilang, kompres air dingin lebih baik.
Sebenarnya keduanya tidak masalah.
Saya memakai satu kata kunci: waktu. Kalau bisa segera mendapatkan kompres es batu, tentu lebih baik. Pendarahannya bisa langsung dihentikan. Tapi kalau selang waktunya terlalu lama hingga sudah terjadi pendarahan di dalam, dan memarnya mulai membesar, kompres air panas justru membantu. Biar tidak jadi beku dan membiru.
Saya membiarkan Riri menyendiri selama 30 menit karena ia sangat kesal akibat jatuh. Berulang kali saya mengejar-ngejar dia mengoleskan salep. Hasilnya, memuaskan! Pagi ini Riri muncul tanpa benjol sedikitpun. Tinggal luka gores menghias dahinya. Beberapa teman laki-laki Riri di kelas (fyi: mereka sangat kagum pada kecantikan Riri) memperhatikan dan berkomentar, " Riri, kamu seperti Harry Potter deh. With that scar on your face..."
Riri cemberut.
Sepanjang hari ini dia tidak ikut-ikutan bermain ayunan tali.
Berusaha gembira
Satu minggu ini saya merasa harus berusaha keras untuk gembira di kelas. Tapi saya juga tidak bisa bohong. Tidak ada yang salah dengan anak-anak. Saya mulai menurunkan ambang batas toleransi saya pada keributan. Mereka memang terlahir berisik.
Ketidakgembiraan saya membuat kepekaan saya merespon anak-anak berkurang. Mereka juga kelihatan bingung sekali menanggapi saya yang berubah-ubah.
Kasihan mereka.
Ketidakgembiraan saya membuat kepekaan saya merespon anak-anak berkurang. Mereka juga kelihatan bingung sekali menanggapi saya yang berubah-ubah.
Kasihan mereka.
Thursday, August 11, 2005
The Married Teacher
Rekan sekelas saya sudah memberitahu sejak jauh-jauh hari, bahwa ia akan cuti selama satu minggu mulai hari ini karena akan menikah.
Dengan senang hati saya memberitahu anak-anak tentang rencananya. Mereka gembira sekali dan mulai menginterogasi teman saya tentang berbagai hal berkaitan dengan pernikahannya. Ketika ia pulang lebih awal hari ini, anak-anak melambai sambil berteriak-teriak. Saya dengar salah satu teriakan mereka,
"We expect for the baby any time, now!"
Dengan senang hati saya memberitahu anak-anak tentang rencananya. Mereka gembira sekali dan mulai menginterogasi teman saya tentang berbagai hal berkaitan dengan pernikahannya. Ketika ia pulang lebih awal hari ini, anak-anak melambai sambil berteriak-teriak. Saya dengar salah satu teriakan mereka,
"We expect for the baby any time, now!"
Tuesday, August 09, 2005
Nasionalisme Agustus
Adalah suatu hal yang paling tidak saya duga; mendengar lagu Indonesia Raya di radio. Saya mengalaminya pada suatu pagi. Lagu itu membuat sesuatu dalam perut saya bergerak-gerak dan naik ke alam sadar. Sulit menjelaskan apa yang saya maksud dengan "sesuatu" itu. Sepertinya sejenis rasa sayang dan rindu.
Kebetulan pula, pada hari yang sama kelas saya akan membahas tentang pernak pernik Indonesia seperti bendera, lambang, lagu kebangsaan, dan sebagainya. Minggu depan akan ada perayaan 17 Agustus. Tradisi di sekolah saya, itu adalah satu-satunya hari di mana kami mengadakan upacara bendera singkat.
Kelas saya memulai diskusi pagi dengan membahas upacara itu. Kami pura-pura melakukan upacara bendera. Di kelas musik, anak-anak latihan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Usai kelas musik, anak paling badung di kelas menghampiri saya, "Bu, Bu! Lagunya seru! Aku suka lagu tadi. Apalagi bagian yang harus dinyanyikan keras. Asyik lagunya. Aku suka." Saya sampai bengong mendengarnya.
Pada kesempatan lain hari itu saya bercerita sedikit tentang sejarah bendera Merah Putih dan terciptanya lagu Indonesia Raya. Saya ingin mereka tahu mengapa mereka diharap menunjukkan sikap tertentu pada bendera dan lagu kebangsaan kita. Saya mencoba bercerita dengan hati-hati, memilih kata-kata yang relevan untuk dunia mereka sekarang. Saya tidak menduga anak-anak begitu antusias dengan cerita tentang sejarah itu. Pertanyaan mereka merembet jauh sampai saya harus menceritakan Perang Dunia II, penjatuhan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, juga perjalanan Vasco Da Gama.
Kenapa kita dijajah, Bu? Dijajah itu apa? Merdeka itu apa? Bagaimana caranya supaya kita merdeka? Kalau sudah dijatuhi bom, harusnya kan hancur, ya Bu? Bagaimana caranya bisa bagus lagi seperti sekarang? Kalau yang laki-laki menjadi romusha, yang perempuan bagaimana? Siapa yang datang duluan bu, Portugis atau Inggris? Jepangnya kapan?
Tahu-tahu jarum jam sudah menunjukkan pukul 1 lewat. Saya kaget. Sudah waktunya pulang. Tapi anak-anak tidak mau pulang! Mereka ngotot saya harus melanjutkan cerita saya sampai tuntas tentang sejarah kemerdekaan Indonesia. Mereka tidak peduli ketika saya bilang, sejarah itu begitu panjangnya hingga kalian tidak akan tuntas mempelajarinya sampai SMP. Dhiadri memandang saya dan berkata, "Bu Tia, why don't you call our parents and tell them that we are going to stay here until night to hear your story."
Riri terus mengeluh bahwa ia ingin tahu dan masih penasaran.
Saya berjanji bahwa setiap diskusi pagi saya akan bercerita pada mereka tentang sejarah kemerdekaan sampai selesai. Anak-anak mengeluh panjang. Malas sekali sepertinya pulang. Hari itu saya merasa sangat mencintai mereka. Ada sebuah dorongan untuk menaruh harap pada mereka.
Kejadian sepanjang Senin itu membuat saya berpikir banyak sampai rumah. Saya diliputi satu kesadaran bahwa dalam pekerjaan ini saya tidak hanya mengajar. Ternyata suka atau tidak saya akan mentransfer pada mereka sebagian identitas, sentimen, perasaan, dan pikiran mengenai suatu hal. Jika saya kehilangan rasa bangga saya terhadap bangsa ini, saya juga tidak akan pernah bisa membuat mereka bangga sebagai orang Indonesia. Jika saya tidak berhasil membuat mereka bangga, mereka tidak akan punya kepedulian pada negaranya. Jika mereka tidak peduli, mereka akan pergi, tidak melakukan apa-apa untuk negara ini.
Yang paling menakutkan adalah... kok semua seperti harus bermula dari saya sendiri.
Kebetulan pula, pada hari yang sama kelas saya akan membahas tentang pernak pernik Indonesia seperti bendera, lambang, lagu kebangsaan, dan sebagainya. Minggu depan akan ada perayaan 17 Agustus. Tradisi di sekolah saya, itu adalah satu-satunya hari di mana kami mengadakan upacara bendera singkat.
Kelas saya memulai diskusi pagi dengan membahas upacara itu. Kami pura-pura melakukan upacara bendera. Di kelas musik, anak-anak latihan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Usai kelas musik, anak paling badung di kelas menghampiri saya, "Bu, Bu! Lagunya seru! Aku suka lagu tadi. Apalagi bagian yang harus dinyanyikan keras. Asyik lagunya. Aku suka." Saya sampai bengong mendengarnya.
Pada kesempatan lain hari itu saya bercerita sedikit tentang sejarah bendera Merah Putih dan terciptanya lagu Indonesia Raya. Saya ingin mereka tahu mengapa mereka diharap menunjukkan sikap tertentu pada bendera dan lagu kebangsaan kita. Saya mencoba bercerita dengan hati-hati, memilih kata-kata yang relevan untuk dunia mereka sekarang. Saya tidak menduga anak-anak begitu antusias dengan cerita tentang sejarah itu. Pertanyaan mereka merembet jauh sampai saya harus menceritakan Perang Dunia II, penjatuhan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, juga perjalanan Vasco Da Gama.
Kenapa kita dijajah, Bu? Dijajah itu apa? Merdeka itu apa? Bagaimana caranya supaya kita merdeka? Kalau sudah dijatuhi bom, harusnya kan hancur, ya Bu? Bagaimana caranya bisa bagus lagi seperti sekarang? Kalau yang laki-laki menjadi romusha, yang perempuan bagaimana? Siapa yang datang duluan bu, Portugis atau Inggris? Jepangnya kapan?
Tahu-tahu jarum jam sudah menunjukkan pukul 1 lewat. Saya kaget. Sudah waktunya pulang. Tapi anak-anak tidak mau pulang! Mereka ngotot saya harus melanjutkan cerita saya sampai tuntas tentang sejarah kemerdekaan Indonesia. Mereka tidak peduli ketika saya bilang, sejarah itu begitu panjangnya hingga kalian tidak akan tuntas mempelajarinya sampai SMP. Dhiadri memandang saya dan berkata, "Bu Tia, why don't you call our parents and tell them that we are going to stay here until night to hear your story."
Riri terus mengeluh bahwa ia ingin tahu dan masih penasaran.
Saya berjanji bahwa setiap diskusi pagi saya akan bercerita pada mereka tentang sejarah kemerdekaan sampai selesai. Anak-anak mengeluh panjang. Malas sekali sepertinya pulang. Hari itu saya merasa sangat mencintai mereka. Ada sebuah dorongan untuk menaruh harap pada mereka.
Kejadian sepanjang Senin itu membuat saya berpikir banyak sampai rumah. Saya diliputi satu kesadaran bahwa dalam pekerjaan ini saya tidak hanya mengajar. Ternyata suka atau tidak saya akan mentransfer pada mereka sebagian identitas, sentimen, perasaan, dan pikiran mengenai suatu hal. Jika saya kehilangan rasa bangga saya terhadap bangsa ini, saya juga tidak akan pernah bisa membuat mereka bangga sebagai orang Indonesia. Jika saya tidak berhasil membuat mereka bangga, mereka tidak akan punya kepedulian pada negaranya. Jika mereka tidak peduli, mereka akan pergi, tidak melakukan apa-apa untuk negara ini.
Yang paling menakutkan adalah... kok semua seperti harus bermula dari saya sendiri.
Tuesday, August 02, 2005
Sopan Santun
Sebagai guru setengah preman, saya tidak pernah terlalu berisik tentang tata krama sehari-hari. Maksud saya, anak-anak tidak harus menyalami saya dan seterusnya. Kami saling bersapa selamat pagi dan tersenyum sambil lalu. Kami mengucapkan selamat siang sambil lari dan melambaikan tangan.
Tahun lalu saya tidak terlalu keberatan anak-anak makan sambil mengobrol (asal tidak bicara dengan mulut penuh). Saya juga tidak pernah mengeluh kalau anak-anak datang dengan celana pendek atau kaus tanpa lengan.
Tapi beberapa hal yang terjadi pagi ini membuat saya berpikir. Salah satu staf sekolah kami mengeluh pada saya, satu murid saya selalu lari menerjang pintu depan sekolah. Ia selalu hirau kalau hampir menabrak orang tua murid yang lewat, atau adik-adik kelas TK yang belum sepenuhnya bangun dari tidur mereka. Murid saya yang memang selalu pakai batere Energizer ini juga tidak 'punya waktu' untuk mengucapkan selamat pagi.
Saya berjanji akan membicarakan ini dengan murid saya. Entah kenapa, teguran itu membekas buat saya. Selama empat tahun ini, guru-guru lain selalu mengutarakan kesan bahwa kelas saya angkatan ini sangat cerdas, tapi... tidak tahu caranya menghormati orang lain. Oh, ini bukan hanya tentang mengucapkan salam.
Sepanjang pagi saya memperhatikan tingkah laku kelas saya. NAH ternyata itulah masalahnya mengapa saya selalu ngomel tak berunjung sepanjang dua minggu ini. They lack of respect to others. Sebagian besar tidak ambil pusing apakah ada yang sedang bicara atau tidak, orang lain terganggu atau tidak, bahaya atau tidak dan seterusnya. I know, it is part of my job to remind them about these things. Tapi mereka betul-betul lack of respect sampai saya merasa saya adalah tukang membuat peraturan paling menjengkelkan di dunia.
Tahu sendiri kan, siapa yang tidak jengkel melihat anak-anak kecil berlarian tidak keruan di tempat umum sambil jerit-jerit?
Jujur saja sampai sekarang saya masih belum tahu apa yang harus saya lakukan untuk menumbuhkan rasa menghargai itu pada mereka. Saya dan asisten di kelas saya sudah sepakat untuk lebih awas dan sigap memberi umpan balik pada anak-anak. Mau tidak mau saya harus lebih 'keras' tentang sikap duduk, mata melihat ke mana, kosakata yang dipakai, dan seterusnya. Menurut ayah saya dongeng akan membantu. Saya pikir juga begitu, melihat minat anak-anak kelas saya pada dongeng dan buku.
Saya benar-benar peduli dengan ini. Saya tidak ingin punya satu partai anak pintar yang tidak peduli dengan orang lain. Menakutkan.
Tahun lalu saya tidak terlalu keberatan anak-anak makan sambil mengobrol (asal tidak bicara dengan mulut penuh). Saya juga tidak pernah mengeluh kalau anak-anak datang dengan celana pendek atau kaus tanpa lengan.
Tapi beberapa hal yang terjadi pagi ini membuat saya berpikir. Salah satu staf sekolah kami mengeluh pada saya, satu murid saya selalu lari menerjang pintu depan sekolah. Ia selalu hirau kalau hampir menabrak orang tua murid yang lewat, atau adik-adik kelas TK yang belum sepenuhnya bangun dari tidur mereka. Murid saya yang memang selalu pakai batere Energizer ini juga tidak 'punya waktu' untuk mengucapkan selamat pagi.
Saya berjanji akan membicarakan ini dengan murid saya. Entah kenapa, teguran itu membekas buat saya. Selama empat tahun ini, guru-guru lain selalu mengutarakan kesan bahwa kelas saya angkatan ini sangat cerdas, tapi... tidak tahu caranya menghormati orang lain. Oh, ini bukan hanya tentang mengucapkan salam.
Sepanjang pagi saya memperhatikan tingkah laku kelas saya. NAH ternyata itulah masalahnya mengapa saya selalu ngomel tak berunjung sepanjang dua minggu ini. They lack of respect to others. Sebagian besar tidak ambil pusing apakah ada yang sedang bicara atau tidak, orang lain terganggu atau tidak, bahaya atau tidak dan seterusnya. I know, it is part of my job to remind them about these things. Tapi mereka betul-betul lack of respect sampai saya merasa saya adalah tukang membuat peraturan paling menjengkelkan di dunia.
Tahu sendiri kan, siapa yang tidak jengkel melihat anak-anak kecil berlarian tidak keruan di tempat umum sambil jerit-jerit?
Jujur saja sampai sekarang saya masih belum tahu apa yang harus saya lakukan untuk menumbuhkan rasa menghargai itu pada mereka. Saya dan asisten di kelas saya sudah sepakat untuk lebih awas dan sigap memberi umpan balik pada anak-anak. Mau tidak mau saya harus lebih 'keras' tentang sikap duduk, mata melihat ke mana, kosakata yang dipakai, dan seterusnya. Menurut ayah saya dongeng akan membantu. Saya pikir juga begitu, melihat minat anak-anak kelas saya pada dongeng dan buku.
Saya benar-benar peduli dengan ini. Saya tidak ingin punya satu partai anak pintar yang tidak peduli dengan orang lain. Menakutkan.
Monday, August 01, 2005
Almost A Perfect Day
Hari ini hari Senin. Hari Senin biasanya anak-anak punya kelebihan energi sisa akhir pekan. And believe me... you don't want to work with them on Mondays.
Tapi hari ini saya agak beruntung sedikit. Saya bermain curang dengan kegiatan dikte. Supaya senang, saya buat jadi permainan. Lumayan. Anak-anak antusias, yang paling malas pun jadi ikut-ikutan. Lalu saya menemani mereka di pelajaran musik. Entah angin dari mana, sang guru musik berpikiran untuk mengajak anak-anak bermain sambil lari-larian. Mereka jadi agak capek, syukurlah...
The English Teacher datang dengan membawa tiga kantong plastik besar. Ternyata kegiatan hari ini MEMASAK! Makin gembiralah kelas saya. Ini kelas memasak paling ribut dan berantakan yang pernah saya ikuti. Saya harus mengintervensi dengan cara ala tentara : semua harus antri. Acara memasak molor sampai jam dua belas siang. Ruang kelas kami lengket dan berminyak.
Saya mengirim anak-anak piknik di halaman karena tidak mungkin lagi makan siang di kelas. Saya tidak pernah melihat mereka bersiap-siap untuk makan siang secepat tadi. Whoooosh!
They're all gone.
Saya sempat menikmati sepuluh menit yang damai sambil memasukkan nampan-nampan kue ke oven, juga bersih-bersih kelas. Sampai kemudian Dimas dan Musa menjerit-jerit masuk kelas. Dengan panik mereka bercerita bahwa ada tawon di halaman. Mereka sangat panik dan tidak bisa disuruh kembali ikut piknik di halaman. Musa mau mencoba untuk kembali ke halaman, lalu kembali dua menit kemudian sambil berlinangan air mata. Ternyata Adinda -- yang tahu persis bahwa temannya ketakutan -- memutuskan untuk bermain peran menjadi tawon sambil menirukan suaranya.
Musa menjerit-jerit "whuaaaa..... Adinda memanggil-manggil tawonnya!"
Berakhirlah sepuluh menit saya yang damai, begitu juga hari yang hampir sempurna.
Saya harus bercerita tentang tawon, lebah dan Pertahanan Terhadap Ilmu Tawon sampai waktu pulang tiba.
Tapi hari ini saya agak beruntung sedikit. Saya bermain curang dengan kegiatan dikte. Supaya senang, saya buat jadi permainan. Lumayan. Anak-anak antusias, yang paling malas pun jadi ikut-ikutan. Lalu saya menemani mereka di pelajaran musik. Entah angin dari mana, sang guru musik berpikiran untuk mengajak anak-anak bermain sambil lari-larian. Mereka jadi agak capek, syukurlah...
The English Teacher datang dengan membawa tiga kantong plastik besar. Ternyata kegiatan hari ini MEMASAK! Makin gembiralah kelas saya. Ini kelas memasak paling ribut dan berantakan yang pernah saya ikuti. Saya harus mengintervensi dengan cara ala tentara : semua harus antri. Acara memasak molor sampai jam dua belas siang. Ruang kelas kami lengket dan berminyak.
Saya mengirim anak-anak piknik di halaman karena tidak mungkin lagi makan siang di kelas. Saya tidak pernah melihat mereka bersiap-siap untuk makan siang secepat tadi. Whoooosh!
They're all gone.
Saya sempat menikmati sepuluh menit yang damai sambil memasukkan nampan-nampan kue ke oven, juga bersih-bersih kelas. Sampai kemudian Dimas dan Musa menjerit-jerit masuk kelas. Dengan panik mereka bercerita bahwa ada tawon di halaman. Mereka sangat panik dan tidak bisa disuruh kembali ikut piknik di halaman. Musa mau mencoba untuk kembali ke halaman, lalu kembali dua menit kemudian sambil berlinangan air mata. Ternyata Adinda -- yang tahu persis bahwa temannya ketakutan -- memutuskan untuk bermain peran menjadi tawon sambil menirukan suaranya.
Musa menjerit-jerit "whuaaaa..... Adinda memanggil-manggil tawonnya!"
Berakhirlah sepuluh menit saya yang damai, begitu juga hari yang hampir sempurna.
Saya harus bercerita tentang tawon, lebah dan Pertahanan Terhadap Ilmu Tawon sampai waktu pulang tiba.
Subscribe to:
Posts (Atom)