Sebagai guru setengah preman, saya tidak pernah terlalu berisik tentang tata krama sehari-hari. Maksud saya, anak-anak tidak harus menyalami saya dan seterusnya. Kami saling bersapa selamat pagi dan tersenyum sambil lalu. Kami mengucapkan selamat siang sambil lari dan melambaikan tangan.
Tahun lalu saya tidak terlalu keberatan anak-anak makan sambil mengobrol (asal tidak bicara dengan mulut penuh). Saya juga tidak pernah mengeluh kalau anak-anak datang dengan celana pendek atau kaus tanpa lengan.
Tapi beberapa hal yang terjadi pagi ini membuat saya berpikir. Salah satu staf sekolah kami mengeluh pada saya, satu murid saya selalu lari menerjang pintu depan sekolah. Ia selalu hirau kalau hampir menabrak orang tua murid yang lewat, atau adik-adik kelas TK yang belum sepenuhnya bangun dari tidur mereka. Murid saya yang memang selalu pakai batere Energizer ini juga tidak 'punya waktu' untuk mengucapkan selamat pagi.
Saya berjanji akan membicarakan ini dengan murid saya. Entah kenapa, teguran itu membekas buat saya. Selama empat tahun ini, guru-guru lain selalu mengutarakan kesan bahwa kelas saya angkatan ini sangat cerdas, tapi... tidak tahu caranya menghormati orang lain. Oh, ini bukan hanya tentang mengucapkan salam.
Sepanjang pagi saya memperhatikan tingkah laku kelas saya. NAH ternyata itulah masalahnya mengapa saya selalu ngomel tak berunjung sepanjang dua minggu ini. They lack of respect to others. Sebagian besar tidak ambil pusing apakah ada yang sedang bicara atau tidak, orang lain terganggu atau tidak, bahaya atau tidak dan seterusnya. I know, it is part of my job to remind them about these things. Tapi mereka betul-betul lack of respect sampai saya merasa saya adalah tukang membuat peraturan paling menjengkelkan di dunia.
Tahu sendiri kan, siapa yang tidak jengkel melihat anak-anak kecil berlarian tidak keruan di tempat umum sambil jerit-jerit?
Jujur saja sampai sekarang saya masih belum tahu apa yang harus saya lakukan untuk menumbuhkan rasa menghargai itu pada mereka. Saya dan asisten di kelas saya sudah sepakat untuk lebih awas dan sigap memberi umpan balik pada anak-anak. Mau tidak mau saya harus lebih 'keras' tentang sikap duduk, mata melihat ke mana, kosakata yang dipakai, dan seterusnya. Menurut ayah saya dongeng akan membantu. Saya pikir juga begitu, melihat minat anak-anak kelas saya pada dongeng dan buku.
Saya benar-benar peduli dengan ini. Saya tidak ingin punya satu partai anak pintar yang tidak peduli dengan orang lain. Menakutkan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment