Masih ingat tidak berapa banyak buku pegangan belajar yang harus kita bawa ke sekolah dulu? Satu untuk matematika, satu untuk Bahasa Indonesia, dua untuk IPA, dan seterusnya. Saya tahu kebanyakan sekolah saat ini juga masih tergila-gila pada buku cetakan berbagai penerbit itu. Saya juga tahu kalau buku pelajaran itu adalah bisnis yang menjanjikan banyak uang.
Saya tidak bisa percaya penuh pada salah satu dari buku-buku itu (ini berarti saya percaya pada beberapa halaman, tapi tidak satu buku). Saya juga tidak meminta anak-anak menggunakannya di sekolah.
Saya selalu menyiapkan sendiri semua lembar kerja dan bacaan untuk anak-anak yang saya ambil dari berbagai tempat. Cukup merepotkan untuk saya, juga sama merepotkannya untuk para orang tua yang rajin menemani anaknya membahas materi pelajaran di sekolah. Tapi menurut saya ini cara paling luwes untuk beradaptasi dengan anak-anak di kelas saya yang memiliki rentang kemampuan, minat, dan fasilitas yang cukup besar.
Kalau saya memilih buku pelajaran cetakan A atau B, saya bisa membunuh anak-anak yang minatnya besar dan kebetulan cerdas. Dengan demikian saya bisa ikut serta menciptakan teroris di kelas saya. Tanpa buku cetak saya bisa menemani mereka mengeksplorasi tema yang kami bahas sesuka hati.
Memang cara ini agak merepotkan. Merepotkan saya yang harus selalu konsentrasi menyiapkan bahan pelajaran, juga merepotkan orang tua yang tidak pernah bisa menduga ke mana saya akan melangkah.
Beberapa orang tua kemarin menghampiri saya, minta saya mencantumkan referensi website mana yang bisa mereka kunjungi bersama anak-anak sambil belajar, atau buku apa yang saya gunakan.
This is a good idea, anyway. More things to do, Teacher.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
jadi inget salah satu lecturer g pernah bilang apakah kita sbg guru perlu textbook, atau reference dlm mengajar? hmm saya rasa tidak. menggunakan referensi dan metode kita sendiri merupakan referensi plg jitu asal masih dlm konteks yg ingin disampaikan yach. way to go, ibu Tia ^_^
Post a Comment