Sunday, July 03, 2005
Lantas Ke Mana?
There are stars in my eyes, when people started to ask me about what i am doing now. I will, with all my heart, retell the stories of my class, my students, my bare feet in the classroom, my passion, and everything.
Ada beberapa tanggapan yang sering saya terima :
1. Nanti saya boleh titip anak saya ya?
2. Saya ingin sekali-kali berkunjung ke kelasmu.
3. Pasti sekolah mahal.
4. Pasti kamu dibayar mahal.
5. Nanti kalau ujian bagaimana? Status sekolah itu apa?
6. Nanti ke mana mereka melanjutkan sekolahnya?
Saya menjawab
1. Ya, boleh saja.
2. Mungkin suatu waktu (kalau memungkinkan) saya akan mengundangmu ke kelas saya. It is a waiting list, for your information.
3. Ya.... apa boleh buat. Pendidikan memang mahal sekali.
4. Lebih baik dari rekan-rekan saya yang mengajar enam kelas sekaligus di sekolahnya, mereka yang mengajar anak jalanan, KeJar Paket A,B,C,.. dan seterusnya. Tapi jujur, saya malu sama mereka. Beban kerja saya, output kerja saya, tidak ada apa-apanya dibanding mereka. I am a spoiled teacher.
5. Untung sekarang sudah tidak ada ujian SD
Sejujurnya, saya masih belum tahu jawaban nomor enam. Beberapa orang sudah mewanti-wanti saya, bahwa saya terlalu memanjakan murid-murid saya. Menurut mereka saya akan membuat mereka kaget bukan kepalang ketika berada di sekolah pada umumnya, dan membuat mereka tidak bisa survive.
Saya bayangkan mereka akan sangat tertekan dengan guru-guru yang lebih suka bicara daripada mendengarkan, teman-teman yang anti pada anak yang beda sendiri, bangun kelas yang kaku, budaya haus nilai ujian dan rapor, ... selanjutnya bayangkan sekolah anda dulu di Indonesia. Saya pernah amat sangat kaget dengan perubahan semacam itu, dan hasilnya tidak baik untuk diri saya. Luka itu masih menganga dan tidak sembuh-sembuh juga.
Tegakah saya membuat murid-murid saya mengalami itu semua? Tidak. Dan saya lebih tidak tega lagi kalau harus membuat mereka semua mengalami model sekolah seperti yang saya alami dulu. Meski sebentar, saya ingin mereka merasakan senangnya belajar dan sekolah.
Tadi sore saya mendapat pertanyaan nomor 6 itu lagi. Tadi saya menjawab begini, tapi menurut saya kita tetap harus mulai, tante. Kita tidak bisa terus-terusan menjadikan cara sekolah yang non-sense di level selanjutnya sebagai alasan untuk tidak memperbaiki cara sekolah di level dasar. Saya berharap, ketika sudah saatnya mereka sekolah di tingkat menengah, sudah ada sekolah yang mengakomodasi itu. Semoga salah satu teman-teman saya yang lebih tertarik pada pendidikan selanjutnya mau buka sekolah untuk mereka. Saya yakin akan ada. Hanya, saya tidak yakin sekolahnya affordable.
Saya agak malu memang, dengan fakta bahwa saya mengajar di sebuah sekolah yang cukup mahal, dan mau tidak mau jadi terpisah dengan kelompok sosial ekonomi yang lain. Tapi (garuk-garuk kepala) bagaimana ya? Saya cuma pekerja, tidak punya modal, dan tangan saya cuma dua!
Yang saya punya adalah kepala saya dengan ide-ide idealis semau gue, passion ini, ruang kelas itu, anak-anak yang dikirim ke kelas saya itu, fasilitas lengkap yang ternyata bisa saya dapat... inilah yang bisa saya lakukan sekarang. Saya tidak punya hati baja untuk membuka sebuah rumah singgah. Saya tidak punya mulut yang cukup lantang untuk membuat semua pejabat diknas mati kata.
This is the small thing i could do. Lebih baik saya lakukan sebaik-baiknya. Mudah-mudahan menular ya, ke orang lain yang juga mau melakukan hal ini lebih baik lagi, untuk lebih banyak orang lagi. Diajak juga saya mau..
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
sebulan sebelum Romo Mangun meninggal, saya mampir ke rumahnya dan ngobrol-ngobrol soal pendidikan. Dia cerita soal sekolahnya, SD Mangunan... soal betapa bebas anak-anak di sana-- betapa terbebaskan, sebetulnya. Saya penuh semangat mendengarkan, berpikir, "This is GREAT!"
Lalu tiba-tiba saya ingat, anak-anak ini harus masuk SMP--dan tidak ada SMP Mangunan. Apalagi, mereka dari keluarga miskin. Saya menatap Romo cemas, "Setelah lulus SD, gimana, Romo?"
Romo Mangun menatap saya, nyengir. Matanya berkilat-kilat. (Saya yakin dia sudah menghadapi pertanyaan seperti itu berulang-kali.)
Romo tertawa kecil. "Lha ya, itu bukan masalah saya lagi, ta?"
Saya terkejut. Meringis dan garuk-garuk kepala. "Iya juga sih, Romo..."
Hehehe...
We all do what we can. We have our share. :-)
Beruntungnya... bisa ketemu Romo Mangun....
Post a Comment